Budget Traveler


Tinggalkan komentar

Jalan-jalan ke Gurun Pasir di Indonesia Timur

Emang ada? Itu komen pertama yang terlontar dari mulut saya ketika bapak driver gocar ngasih referensi tempat untuk di kunjungi di Kupang. Sepengetahuan saya yang kurang piknik ini, daerah yang ada gundukan pasir ala-ala gurun pasir Timur Tengah itu ada di Jogja, yaitu Gumuk Pasir. Ternyata dua kali ke Kupang saya baru tahu kalau di NTT ada juga gurun pasir seperti itu. Tepatnya ada di pantai Oetune.

karena foto2 di kamera dan hp pribadi ilang semua jadi ambil foto dari Antara

Pantai Oetune terletak di Oebelo, Amanuban Selatandi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. As we know pantai di daerah timur itu memang bagus banget. Keindahan pantai berpasir putih yang berpadu dengan laut dan langit yang biru serta keberadaan gurun pasir jadi daya tarik tersendiri untuk datang ke Pantai Oetune. Luasnya sekitar 100 meter di tepi pantai tapi gak akan abis diexplore setiap jengkalnya untuk ber-swa foto.

Saat kami baru sampai di sana ada anak-anak yang menghampiri, mereka menawarkan kelapa muda dan bantuan untuk membawakan barang atau memotret. Saya tanya dari mana mereka belajar motret, “Waktu itu ada MTMA, kami diajari kakak-kakaknya,” gitu jawab Arnold, salah satu anak yang membantu kami. Hasil foto mereka juga cukup bagus terutama jika menggunakan kamera handphone.

Pantai Oetune memang tidak seperti pantai kebanyakan di Jawa yang ramai, disana masih sepi pengunjung. Harga tiket masuk ke kawasan pantai hanya Rp3000,- dan parkir Rp2000,-. Masih sangat murah untuk ukuran daerah wisata, air kelapa muda juga cuma Rp5000,-

Meskipun pengunjung tidak begitu ramai tapi fasilitas umum seperti toilet dan mushola sudah dibangun disana, hanya saja belum difungsikan dengan baik karena terbatasnya air bersih. Saat kami kesana hanya satu toilet yang bisa digunakan, airnya juga dadakan diambil dari sumur depan toilet. Siapa yang ngambil air? Ya anak-anak yang ada disana tadi.

Akses menuju Oetune

Untuk menuju Pantai Oetune kami menyewa mobil dari Kupang, karena tidak ada kendaraan umum ke sana. Jaraknya 115 km tapi karena jalanannya bebas macet maka waktu tempuh yang dibutuhkan hanya sekitar 2,5-3 jam saja.

Sepanjang jalanpun pemandangan yang bisa dilihat sangat menarik dari mulai jalanan yang berkelok, perbukitan, pepohonan khas daerah panas, sampai rumah-rumah tradisional Kupang. Itu yang membuat perjalanan 3 jam tidak terasa melelahkan. Soal petunjuk arah kami menyerahkan semuanya pada Google Map.

Selain Pantai Oetune, di Kabupaten Timor Tengah Selatan juga ada pantai indah lainnya. Namanya Kolbano. Biar sekalian jalan tapi dapat view yang berbeda jadi kami lanjut jalan-jalannya ke Pantai Kolbano. Revisit setelah tahun lalu juga pernah ke sini.

Sayangnya di Kolbano belum ada fasilitas seperti di Pantai Oetune, untuk urusan MCK saat itu kami diarahkan ke toilet punya warga setempat. Semoga dalam waktu dekat sudah ada orang lokal yang memperhatikan fasilitas di sana jadi berwisata ke Kolbano lebih mengasikan.


Tinggalkan komentar

Sinabung Dulu

Kreativa - 170823 Liputan Sinabung - 186

Agustus 2017

“Nin, liputan ke Siosar. Ada peresmian relokasi pengungsi Sinabung disana. Client kita minta dokumentasi foto dan video, plus ada penyaluran juga buat para pengungsi. Usahakan dapat cerita yang menarik.” Kurleb begitulan kata-kata bos saya saat kami ditugaskan tiga tahun lalu.

Sebenernya karena sudah sangat lama, saya lupa jam berapa pergi, sampai di lokasi, dan kemana aja waktu liputan, tapi karena ada google map yang begitu canggihnya merekam semua perjalanan yang pernah dilakukan -dengan catatan hp on terus- jadi lah saya ingat. Antara takjub dan serem klo udah kayak gini.

Eh tapi saya lagi gak mau ngomongin google map. Ini tentang perjalanan tiga tahun lalu ke Siosar, Berastagi, Sumatera Utara. Dan teringat lagi karena beberapa hari lalu Sinabung kembali erupsi.

Jadi singkat cerita saya dan kawan-kawan sampai di Siosar sekitar jam 9 malem. Perjalanan dari Medan ke sana cukup jauh, jalannya berkelok-kelok dan menanjak, karena lokasi pengungsiannya memang di bukit. Dan itu asli dingin banget lebih dari dinginnya Lembang, anginnya juga kencang. Parahnya lagi saya gak bawa jaket gegara mikirnya Medan kan panas, padahal kan ini bukan Medan. Duh.

Kreativa - 170823 Liputan Sinabung - 21

Karena alasan utama ke sana adalah pekerjaan jadi full pikiran saya saat itu adalah bagaimana ngambil dokumentasi yang bagus dan real tentang keseharian warga terdampak. Baik sebelum atau sesudah. Nah ngomong-ngomong “sebelum” yang ada dipikiran saya saat itu pen banget lihat desa yang terdampak. Tapi how? gak tau juga tempatnya dimana.

Hari kedua sore, pas saya wawancara salah satu narsum gak sengaja kami ngebahas tentang tempat tinggalnya dulu yang sekarang ditingkalkan seluruh warga. Hmm..saat itu jujur gak kepikiran daerah itu sangat berbahaya. Cuma “oh mungkin karena lumayan deket jadi warganya diungsikan sementara”. Aslinya ini pikiran bodoh sih.

Kadang manusia memang sadar dia bodoh setelah melakukan hal bodoh. *apalah Nina

Ok back to story, jadi meskipun itu desa kosong, tapi saya gak berfikir bahwa itu daerah berbahaya banget. Pas kesana juga masih ada yang berkebun, masih ada tukang eskrim walls lewat, beberapa motor masih lalu lalang di jalan besarnya. Tapi pas masuk jalan desa yang dekat jalan besar tadi, baru deh terlihat plank bertuliskan “ZONA MERAH” Uwow..

“Udah jauh dari lokasi pengungsian, masa iya pulang lagi.” -pikiran sempit 1
“Tapi klo ada apa-apa, kita bakal dibully abis-abisan ama netizen +62” -pikiran sempit 2
Ini diskusi yang “parah banget” diantara kami. Meski takut-takut sedap akhirnya masuk juga, karena narsum kami saat itu bilang “Gak apa-apa kok, insyaAllah aman” klo dipikir lagi pen jawab “Ya Allah, pak, klo aman ngapain warga disuruh ngungsi”

Tapi lagi-lagi demi konten, kami pun jalan aja masuk ke desa kosong itu. Waktu itu masih pagi menuju siang, suasanya senyaaap banget. Debu menutupi jalan, tanaman, dan rumah-rumah yang ada. Pintu dan jendela tertutup, tapi gak dikunci. Temen saya iseng buka satu pintu dan kondisinya seperti rumah pada umumnya, ada piring dan gelas di meja makan, kek lagi suasana makan tapi gak ada orangnya. Sangat spooky. Apalagi pas ada angin bunyi kreket jendela yang gak dikunci itu kedenger heuuu… bikin merinding. Belum lagi narsum kami sambil jalan bercerita. “Minggu lalu ada 3 orang yang meninggal karena awan panas. Di sini satu, di sini satu, dan di sana..” sambil nunjuk lokasi. Hajuh..mulai gak enak hati kami pun mempercepat pengambilan gambar.

Puncak kehororan itupun datang di tengah pengambilan gambar.
Tetiba..dwaaar..ada erupsi dong sodara-sodara. Awan abu pekat pun membumbung ke langit. Tapi tetep tukang foto mengabadikan gambar dulu..heuu

Kami langsung kabur menuju mobil, sang narsum dengan santuynya bilang, “Tenang aja anginnya gak mengarah ke sini kok”. Hiyaa..meski gitu teteplah saya degdegan parah.
Mau gimana pun kami harus segera menyelesaikan shooting “film horor” ini dan kembali dengan selamat.

Pengalaman ini sebenernya bukan untuk dibanggakan, tapi jadi pelajaran aja buat saya yang kadang suka gegabah. Ya meskipun hasil liputan hari itu tersa bagus sih. Tapi tetep safety first, content kemudian.

 

*semua foto dari Dodi Firmansyah

 


6 Komentar

Traveling Tipis Tipis ke Kolbano

Ini cerita kali pertama saya ke Kupang. Tepatnya tahun 2018 lalu ketika ditugaskan untuk meliput program kurban dari salah satu klien. Bertiga kami datang ke Kupang, yang diprioritaskan pasti lah kerjaan. Tapi kan sayang aja klo ke Kupang trus gak kemana-mana.

Setelah 9 hari merencanakan extent sampai menggalau antara Bajo atau Sumba. Akhirnya kami pun berdamai dengan hanya explore sekitar lokasi kerjaan. Jauh bangeeet emang antara rencana dan realisasi. Ini sematamata demi solidaritas sama temen yang kangen banget Bandung dan pengen cepet pulang.

Ternyata explore Kupang juga gak mengecewakan. Bahkan tempat yang sering kami lalui saat berangkat kerja pun bisa dijadikan foto alaala Sumba gitu. Klo dilihatlihat instagramable banget. Karena tiap hari ngejar storan foto buat kerjaan jadi baru sempat setelah semua kerjaan beres. Lokasinya dekat tempat kerja, dan aslinya jalan setapak depan kontrakan orang sih..hahaha..

Kupang

Foto depan kosan orang

DSCF2196

Foto di Bukit Cinta

 

Setelah puas fotofoto di sana kami beranjak ke lokasi lain yang juga selalu dilewati. Namanya bukit cinta. Gak faham kenapa dinamai demikian. Yang pasti sih saya ga nemu cinta di sini #eaah. Katanya ini salah satu tempat wisata warga sekitar. Semacam bukit kecil yang gersang, mungkin karena kami datang pas musim kemarau.

Awalnya bingung abis dari sana kemana lagi, secara udah siang juga klo mau jalan-jalan jauh. Tapi pengalaman mengajarkan kami untuk tidak banyak diskusi soal tempat liburan. Banyak diskusi ujung-ujungnya suka gak jadi pergi. Tujuan kami waktu itu Pantai Kolbano yang berada di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Bingung gak tuh..timur, tengah, atau selatan?

Gak peduli itu jaraknya ratusan kilometer dan makan waktu 8 jam bolakbalik, kami bertiga tetap berangkat. Alhasil waktu di jalan lebih lama dari pada diem di pantai. Tapi gak apa, kami ini memang penikmat jalan. Sepanjang peralanan diisi ngobrol sana sini, ngemil, klo bosen turun bentar sambil foto-foto di tengah jalan yang lengang, abis itu jalan lagi.

DSCF2421DSCF2439DSCF2445Jalannya jauh tapi bagus. Pantainya juga bagus bangeet. Air lautnya biru toska bikin mata seger. #MasyaAllah pokoknya.

Klo biasanya tepi pantai itu dipenuhi pasir yang warnanya hitam, coklat, atau putih. Kolbano berbeda. Bukan pasir yang menutupi pantai tapi batuan kecil yang kebanyakan warnanya pink, putih, dan abuabu. Dan katanya setiap corak yang ada dibatuan itu berbeda-beda. Hmmm..gak ngecek juga sih bedanya gimana.

Tapi sayangnya di Kolbano belum ada fasilitas MCK, so untuk urusan MCK saat itu kami diarahkan ke toilet punya warga setempat. Semoga dalam waktu dekat sudah ada orang lokal yang memperhatikan fasilitas di sana jadi berwisata ke Kolbano lebih mengasikan yaa..

Aslinya betah diem lama-lama di sini. Tapi tetep kudu tau waktu. Besok pagi kami harus pulang ke Bandung dan belum packing. Haha..kebiasaan emang packing sejam sebelum pergi.

Tahun ini saya ke Kupang lagi, tapi ke tempat yang berbeda. Next deh cerita..

*setahun kemudian..ahaha


Tinggalkan komentar

Berenang bersama Ubur ubur hingga Manta di Kepulauan Derawan

Melihat keindahan bawah laut secara langsung sudah menjadi keinginan saya sejak lama. Dan Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur menjadi pilihan untuk mewujudkannya. Ada beberapa alternatif menuju ke sana, bisa melalui Tarakan atau Berau. Saat itu kami memutuskan untuk berangkat dari Jakarta menuju Tarakan yang membutuhkan waktu 2 jam 50 menit perjalanan udara kemudian dilanjut dengan perjalanan darat dan laut selama kurang lebih tiga jam. Meski cukup lama tapi tidak terasa melelahkan terutama saat mendapati bahwa sunset di Derawan sangatlah cantik.

DSCN0149_2

Beruntung saat kami ke sana cuaca sedang bagus, langit cerah, dan kondisi lautpun tidak terlalu berarus. Waktu yang sangat tepat untuk diving, freedive, atau snorkeling di sini memang antara April, Mei dan Juni, lalu September sampai Desember. Oh ya Kepulauan Derawan ini terdiri dari beberapa pulau kecil, yang paling terkenal diantaranya Pulau Maratua, Derawan, Sangalaki, dan Kakaban.

Pulau yang pertama kami kunjungi saat itu adalah Kakaban. Sekitar 30 menit perjalanan dari Pualu Derawan. Di Pulau Kakaban terdapat danau air tawar. Sejarahnya danau ini terbentuk karena air laut yang terjebak di tengah pulau selama 2 juta tahun hingga menjadi danau air tawar. Karena berevolusi cukup lama oleh air hujan dan air tanah maka bukan hanya airnya yang berubah, faunanya pun ikut berubah.

Di Danau Kakaban ini kita bisa berenang-renang dengan ubur ubur. Tenang saja ubur ubur di sini tidak menyengat karena sudah berevolusi tadi. Untuk berenang di sini disarankan tidak menggunakan fin atau kaki katak karena dapat melukai ubur ubur yang ada di dalamnya.

DSCN0145

Setelah puas berenang di Danau Kakaban, kami melanjutkan snorkeling di kawasan sekitar pulau. Ada palung yang cukup dalam di sana yang dihiasai beberapa terumbu karang yang masih sangat indah. Tapi juga ada perasaan ngeri sekaligus takjub saat melihat ke dalamnya. Terlebih ini pertama kali saya berenang-renang di laut.

DSCN0223

Dari Pulau Kakaban kami lanjutkan perjalanan menuju pulau cantik lainnya. Maratua dan Sangalaki, ini adalah salah satu spot snorkeling dan diving terbaik di Indonesia. Pulau Maratua merupakan salah satu pulau terluar di Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia. Maratua sendiri bagaisurga bagi para penyelam yang mengagumi dunia lain di bawah laut.

Selain terumbu karang warna warni yang ditinggali banyak ikan cantik,pulau ini juga biasa disebut sebagai Maldivesnya Indonesia. Pemandangan permukaan lautnya juga cantik karenanya Pulau Maratua bisa dijadikan tempat untuk menginap, dijamin pasti betah. Untuk menuju ke sini kita bisa langsung menggunakan speedboat atau pesawat kecil.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Setelah puas bermain di Pulau Maratua kami beranjak ke Pulau Sangalaki. Di Pulau Sangalaki kita bisa menjumpai penyu yang beragam jenisnya, diantaranya adalah penyu sisik dan penyu hijau yang biasa hidup dan bertelur di Pulau Sangalaki. Saking banyaknya di pulau tak berpenduduk ini kemudian dibuat tempat konservasi penyu untuk melindungi populasi penyu dari perburuan manusia yang tidak bertanggung jawab.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Di Pulau Sangalaki juga kita bisa menikmati indahnya panorama bawah laut ditemani ikan pari manta yang mengagungkan. Rasanya senang tapi juga degdegan ketika kami berenang dekat dengan pari manta jadi tetap harus jaga jarak aman. Di sini ikan pari manta biasanya hidup berkelompok jadi sangat mudah menjumpai mereka.

Sebenarnya indahnya Kepulauan Derawan tidak cukup hanya dilukiskan dalam kata-kata. Harus kita coba jelajahi dan juga jaga. Kalau kesana jangan tergoda untuk membuang sampah semabarangan ya terutama plastik, jangan juga iseng ingin menu makan dari bahan telur penyu. Please kalau bukan kita siapa lagi yang akan jaga indahnya Indonesia.

DSCN0276

 

Foto: dok. perjalanan dari guide dan pribadi pakai kamera underwater pinjaman 😀


5 Komentar

Hallo Papua

DSCF3286

“Hitam kulit.. keriting rambut, aku Papua..”

Terngiang nyanyian itu ketika kami mendarat di Bandara Sentani, Jayapura. Hari itu menjadi perjalanan pertama saya – dan masih yang pertama – ke pulau paling Timur di Indonesia. Rasanya seperti mimpi bisa menginjakan kaki ke Papua cuma-cuma. Saat itu saya dan teman-teman memang sedang dalam perjalanan tugas tapi rasanya setengah liburan.

Agenda perjalanan dua hari tersebut padat akan kunjungan ke wilayah kerja, dan saya tidak akan membahas pekerjaannya apa. Hari pertama kami berkunjung ke sebuah bangunan ruko yang disulap jadi sekolah. Biasa saja sih seperti jalanan dan wilayah lain di Indonesia. Yang luar biasa ada di belakang bangunan tersebut. Pantai cantik yang luput dari pandangan saya dan mungkin orang yang hanya melintas di jalan besar depan ruko. Orang setempat menyebutnya pantai Enggros.

DSCF3303

Banyak penduduk lokal yang memancing ikan di sana, yang jalan-jalan sore pun ada. Tempat ini semacam lokasi JJS warga sekitar. Tempat memantau matahari terbenam yang cantik, sayangnya saat itu langit agak kelabu, jadi hanya semburat (kecil) jingga saja yang tampak. Sesekali diantara kesibukan kerja sore itu saya menyempatkan diri memotret dan berbincang singkat dengan mamak yang juga sedang asik memancing. Ada faedah yang bisa saya ambil dari jalan-jalan sore itu, tapi biar saya saja lah yang tahu ya..haha..

Lepas maghrib saya dan rekan-rekan seperjuangan baru bisa beranjak menuju penginapan. Istirahat sejenak kemudian cari makan. Lucunya kelakukan kami ini, jauh-jauh ke Jayapura makannya di Pizza Hut. Ya kali aja rasanya beda..heheh. Bukan sih, karena lelah saja, dan lokasi tempat makan terdekat dengan penginapan kami adalah itu. Terima nasib saja kami tidak sedang traveling kuliner.

Di sini waktu memang berjalan lebih cepat dibandingkan daerah manapun di Indonesia, tapi melambat bagi saya yang kehilangan signal hape karena jaringan operator terbaik di Indonesia juga hal fana yang dapat mengalami gangguan. Dari hari pertama menginjakan kaki di Bandara Sentani Alhamdulillah kami manusia sosmed yang suka pamer ini tidak bisa update status. Tulisan “Check in at Sentani airport” di path tak ado. Jadi ketika sampai penginapan pun ga sibuk lihat hp, percuma, mending tidur ngumpulin energi buat besok.

Kreativa - 170126 ICD Jayapura - 446

Hari baru tantangan baru, sejak pagi Jayapura diguyur hujan deras. Padahal ini adalah hari yang sangat diandalkan untuk melakukan liputan di pulau-pulau kecil terdekat. “Berdoa saja, semoga disana cerah,” kata salah satu diantara kami. Ada dua pulau kecil terdekat yang akan kami kunjungi kala itu, satu dihuni oleh penduduk asli Papua, pulau lainnya dihuni penduduk pendatang bersuku Buton. Tapi meski nenek moyang mereka aslinya dari Sulawesi, bahasa dan logat penduduk sini sama seperti orang Papua pada umumnya.

Alhamdulillah doa terkabul, ntah doa siapa yang pasti buat kami happy. Kerena cuaca membaik jadi kami bisa mengujungi kedua pulau tersebut. Liputan pun sukses, main-main di pantai berpasir putih sukses besar..hahah..iya ada pantai kecil di pulau itu yang membuat kami akhirnya sambil menyelam minum cappucino, dari pengarah gaya jadi bergaya.

DSCF3433

Judulnya kerja tapi di sini kami berasa sedang liburan di private beach. Hanya ada kami yang bermain di pantai bersama anak-anak lokal. Mungkin mamak-mamak dan bapak-bapak yang tinggal disana sudah bosan setiap hari ketemu pasir putih dan laut biru. Tidak seperti kami yang tinggal di cekungan berpagar pegunungan. Meski saya tahu ini tidak ada apa-apanya dibanding Raja Ampat, but is still like heaven guys..hahah..norak! Biarin ya, yang pasti tidak semua orang bisa ke tempat ini, bahkan mungkin terfikir saja tidak karena ini bukan tempat liburan.

Jelang maghrib (lagi) kami baru selesai beraktivitas. Kali ini ditutup dengan makanan laut asli bukan berupa pizza. Saya lupa nama tempatnya apa, disini semua masakannya enak. Mungkin karena di Jayapura dekat dengan pantai, jadi ikannya masih fresh atau karena kami memang sangat lapar.

Pagi terakhir di Jayapura masih diguyur hujan deras, itu berarti keinginan melihat Danau Sentani dari dekat tidak bisa terwujud. Suasana dalam mobil pagi itu tidak seperti ketika baru sampai di Jayapura, lebih banyak diam, tidak ada obrolan menarik. Ah mungkin diri kami masih belum rela untuk beranjak dari pulau nan indah ini tapi takdir pulang ke Bandung harus tetap dijalani.

Kreativa - 170126 ICD Jayapura - 815

Sesungguhnya perjalanan tersebut sudah berlalu satu tahun. Semoga lain kali bisa berkunjung lagi ke Papua, ke destinasi yang mainstream di Papua seperti Danau Sentani, Raja Ampat, Misol, dll. Aamiin.

 

…Sama siapa, Nin?


1 Komentar

Menemukan Makna Syukur di Belitung Timur

Hallo wordpress..apakabarnya kamu?
Maaf lama ga nyapa. Bukan ga mau berbagi cerita lagi, hanya saja rasa malas yang tak terkendali.

Oke hari ini saya mau tulis sedikit kisah tentang perjalanan ke Belitung beberapa bulan lalu. Perjalanan kali ini agak tidak biasa, bukan untuk jalan-jalan di hari libur. Tapi Saya dan beberapa teman ditugaskan untuk liputan di lokasi bencana banjir bandang yang menimpa sodara-sodara kita di Belitung Timur kala itu. Ini pengalaman pertama ke Belitung Timur dan pertama juga tugas di lokasi bencana.

Beberapa hari sebelum sampai Belitung saya sempat baca berita bahwa ada jalan yang terputus dan akhirnya bantuan sulit masuk ke sana. Tapi pas saya datang jalanannya tampak baik-baik saja, ada rasa gak percaya bahwa jalanan yang turun naik dan berkelok ini beberapa hari sebelumnya dipenuhi air hingga tidak bisa dilewati oleh kendaraan. Satu hal yang terbersit ketika itu “Ini yang bikin jalannya bener, jadi ga gampang rusak.”

DSCF0586

Kondisi Desa Gantung, Belitung Timur Paska Banjir Bandang

Saat kami sampai lokasi banjir, sebagian besar air sudah surut, beberapa warga juga sudah kembali ke rumah masing-masing, tapi jejak-jejak banjir tidak hilang begitu saja.Banyak bangunan hancur terguras air, bahkan saking kencangnya arus air sebagian rumah hilang entah kemana.

Yang tersisa di lokasi pengungsian tinggal beberapa warga yang kondisi rumahnya rusak parah. Mereka adalah warga yang tinggal di Kampung Bugis. “Rumah saya ada di tengah Kampung, kondisinya rusak parah, dik” kata Halija, salah satu ibu yang saya temui di pengungsian. Sampai hari itu ia tidak bisa kembali ke rumahnya karena memang sulit dibersihkan. Lokasinya di tengah kampung, susah air karena listrik mati, kalaupun ada harus mengambil jauh ke sungai.

Kami coba datangi lokasi Kampung Bugis itu, terutama rumah Ibu Halija. Ya Allah..ga karuan, barang-barang rusak dan kotor, jalanan becek, berlumpur, dan bau menyengat dimana-mana. Beberapa warga berusaha membersihkan rumahnya sedikit demi sedikit. Tapi masih belum bisa ditinggali, karenanya mereka masih memilih bertahan di pengungsian.

“Klo di rumah kami tidak bisa makan, dik. Ada juga yang kirim bantuan makanan, tapi mobilnya berhenti di jalan besar, sebelum masuk ke sini sudah habislah oleh warga yang rumahnya dekat jalan. Sudah sama-sama susah kami, tidak maulah berantem demi makanan. Lebih baik di pengungsian saja, bisa makan, minum, tidur, dan mandi pun banyak air,” papar Mawa, warga Kampung Bugis yang juga tinggal di pengungsian.

Terharu saya dengan cerita bu Mawa ini, kadang beberapa orang akan lebih mementingkan dirinya apalagi sedang dalam kondisi kesusahan. Mau berebut makanan, tapi dia memilih ke pengungsian yang jauh dari tempat tinggalnya demi tidak berkonflik dengan sesama dan masih beryukur bisa tinggal di pengungsian. Ada juga cerita Bu Suryati yang berinisiatif membuka dapur umum untuk para korban banjir di hari pertama kejadian.

“Pas pertama buka baru ada 5 kg beras dan mie instan, ini untuk menu makan siang warga yang mengungsi. Untuk makan malam kami cari daun pepaya yang ada di rumah-rumah warga lain. Kami patungan juga hutang sana sini untuk membeli kebutuhan dapur umum. Baru di hari berikutnya ketika akses jalan sudah bisa dilalui mulai berdatangan bantuan,” tutur Suryati.

Dan masih banyak lagi kisah yang saya dapat dan sangat bermanfaat bagi diri yang kurang bersyukur ini. Awalnya saya sempat berpikiran gini “Duh dari dulu pengen ke Belitung, sekalinya kesini kerja pas bencana pula.” Sungguh rada malu rasanya ngeluh kayak gitu. Padahal dari perjalanan ini justru saya dapat banyak hikmah yang bisa berguna buat hidup di masa depan, terutama tentang sabar dan syukur. Gak cuma dapat pengalaman snorkeling, foto bagus, dan haha hihi aja.

Dari beberapa kisah warga yang saya jumpai, saya jadi belajar langsung gimana orang bisa sangat sabar saat semua yang dia miliki habis sekejap mata. Bagaimana orang tidak mengeluh dengan keadaannya yang berubah drastis dari punya rumah sejam kemudian rumahnya hilang, hartanya hilang, dan mereka masih sangat bersyukur selamat meski cuma bawa baju di badan dan ktp di saku.

Oh Allah makasih banget sudah dipertemukan dengan orang-orang ini.

Temen kerja kala itu

Foto bareng relawan dan korban bencana

 

*foto mozaik by Om Akeu

 


Tinggalkan komentar

Mohon diMaafkan

Assalamualaikum.

Mumpung masih bulan syawal dan masih berasa suasana lebarannya, saya mengucapkan Taqabalallahu minna waminkum, Syiamana wa syiamakum. Semoga amal ibadah kita selama Ramadan diterima Allah. aamiin..

Mohon dimaafkan juga ya jika selama ini tulisan (padahal udah setahun ga ngblog) yang saya share bikin spam. 😀

Mohon maaf lahir batin pokoknya.Nina2


4 Komentar

Dari Haruman ke Rakutak

Libur lebaran kali ini hampir sama seperti libur lebaran tahun lalu. Gak kemana-mana. Kalau saja tidak ada teman-teman dari Jakarta yang ngajak naik gunung di Bandung Selatan. Hari ke 3 lebaran kami merencakan untuk naik puncak Haruman, Gn. Puntang. Tidak terlalu terkenal memang, tapi lumayan buat pemanasan kaki sebelum mulai mendaki gunung lagi.

DSCF0039Rencana sudah dibuat, mepo sudah disepakati, Jumat dini hari kami bertemu di depan Miko Mall, Kopo. Booking Grab Mobile menuju kawasan wisata Gn. Puntang dan bersiap mendaki selepas shubuh. Kami sampai di basecamp pendakian Gn. Puntang sekitar pukul 4 pagi, masih sangat sepi di sana, bahkan basecamp pun digembok. Agak aneh sebenarnya, mengingat ini libur panjang dan biasanya dimanfaatkan orang untuk wisata ke gunung.

Sambil nunggu barangkali ada pendaki lain yang datang, kami memutuskan untuk istirahat di depan basecamp, barulah saat adzan subuh berkumandang saya dan satu teman lainnya mencari mushola sekalian mencari tahu kondisi jalur terkini. Sampai mushola sepi gak ada orang kecuali kami berdua, ah mungkin nanti setelah sholat ada orang lain pikir saya, ternyata ga ada..hehe. Pos tiket masuk pun masih tutup. Saat itu kami belum ngeh ada pengumuman penting depan pintu masuk.

Baru pukul 5.30 setelah agak terang kami kembali ke pintu masuk dan baru baca ada tulisan “Jalur Pendakian di TUTUP”, aah.. Tanya kepenjaga yang baru dateng katanya jalur menuju puncak Mega, dan beberapa curug di sana ditutup karena longsor dan banjir bandang, sedangkan puncak Haruman sudah ditutup sejak Agustus tahun lalu. ZONK!  Maklumlah gunung ini tdak seterkenal Semeru yang infonya bisa dicari di mana-mana tidak perlu datang langsung.

“Lalu apa plan B-nya?” tanya salah satu teman. Plan B-nya adalah cari gunung lain yang masih di wilayah Bandung Selatan, mengingat Bandung kota pasti macet jadi pilihan hanya ada 2, Manglayang dan Rakutak. Dan pilihan 1 saya tolak karena keseringan..hahah.

Jam 7an kami mulai jalan turun, di pertengahan baru ketemu angkutan desa, naik sampai Pasar Banjaran.  Sarapan dulu di pasar sebelum melanjutkan perjalanan jauh, dari Banjaran carter angkot sampai Ciparay, dari sana naik angkot warna kuning menuju Desa Sukarame.

Sampai Desa Sukarame atau pos pendakian di Desa Sukarame sekitar 10.30 wib, tapi kami tidak diizinkan untuk langsung mendaki karena itu hari Jumat, dan semua muslim diminta sholat Jumat dulu. Saya suka saya suka..setidaknya yang gak pernah sholat di gunung, hari itu sholat dulu sebelum mendaki, walaupun kapaksa..hahah.

DSCF0041

Baru mendaki sekitar jam 1 siang, jalur awal masuk ke perkampungan, trus nanjak melipir ladang warga, setelah itu lewatin sawah, baru masuk hutan bambu, makan waktu sekitar 45 menit. Sebenarnya ada 2 jalur melalui Desa Sukarame ini, tapi jalur 2 ditutup karena nerobos ladang warga dan banyak yang rusak, gitu info dari Kang Agus sebagai penjaga pos pendakian.

Dari hutan bambu hingga pos 1 memakan waktu sekitar satu jam, melewati 5 jembatan kecil, jalannya banyak bonus dan rindang. Agak terbuka pas sudah dekat pos, tanjakan tajam 45 derajat juga ada pas mau dekat pos. Lainnya biasa aja.

DSCF0062

Istirahat sejenak di pos 1 untuk makan siang dengan pemandangan pegunungan Malabar. Baru lanjut jam 3 sore, nah dari Pos 1 menuju puncak jalurnya lumayan banget, nanjak terus dengan sedikit bonus. Kalo ada yang pernah ke Manglayang via Batukuda, jalurnya mirip-mirip gitu. Tanah, akar, batuan, cuma lebih panjang aja. Baru terbuka pas mau sampai puncak 1. Kami sampai di Puncak 1 atau Puncak Hiji jam 16.45, berarti dari Pos 1 ke sana kurang lebih 1 jam 45 menit. Karena perjanjiannya nenda di Puncak 2, jadi kami harus melanjutkan perjalanan lagi, yang artinya kami harus melalui jembatan Sirathol Mustaqim saat itu juga. Heuu..

Total rombongan ada 6 orang, dan kami terbagi jadi 2 kelompok. Nah 1 laki-laki yang bareng sama saya udah ngabur duluan buat cari lapak. Saya dan 1 teman perempuan di belakangnya, sedangkan 3 orang lainnya masih jauh dibelakang kami. Mau gak mau, kami berdua harus lewat jembatan Sirathol Mustaqim itu berdua saja. Tadinya mau nunggu, tapi gambling takut keburu maghrib dan gelap.

Awalnya sih berasa biasa aja, kayak jalur dari Pos Pemancar di Merbabu menuju ke puncak. Tapi lama-lama kok serem juga ya, jalan setapak cuma muat buat 1 orang kanan-kiri jurang. Pokoknya jalur kayak gitu bikin saya males ngeluarin kamera, bukan apa sih, kalo udah pegang kamera suka lupa diri. Sampai pertengahan jalan, ada 2 batu besar yang harus kami lalui. Lihat kanan kiri gak ada celah sedikit pun buat kaki berpijak, jadi bener-bener harus naik keatasnya. Jujur, baru kali ini saya gemeteran mau lewatin jalur, jembatan setan Merbabu aja gak segininya.

Tarraaa..akhirnya sampai puncak jam 17.30, kemudian kabut turun. Saya sih bersyukur banget udah nyampe puncak pas masih terang, kasian temen-temen di belakang yang masih pada naik, harus lewatin jalur serem itu gelap-gelapan. Selepas maghrib barulah kami kumpul semua.

DSCF0208

Saran: Puncak Rakutak itu sempit dan terbuka, jadi kalo musim ujan mending gak usah deh takut kena petir. Atau kalo angin lagi kenceng banget nendanya jangan di puncak.


5 Komentar

Mendaki Gn. Lawu Tanpa Persiapan

Seperti yang saya sampaikan di postingan sebelumnya, seringnya saya ke Jogja salah satunya adalah ingin mendaki Merapi, tapi tak kunjung terlaksana. Hari itu juga demikian, “Merapi batuk lagi,” kata teman saya yang mau ditebengi. Alhasil rencana nebeng rombongan teman ke Merapi pun dibatalkan, untuk menggantinya saya coba hubungi rombongan yang akan ke Sumbing, tapi karena jadwalnya yang kurang pas saya pun tidak jadi ikut ke Sumbing.

Rencana mendaki gunung batal semua, tapi tiket kereta sudah dibeli mau gak mau saya berangkat juga ke Jogja bareng Ajeng. Karena gak ada niatan naik gunung, persiapan saya pun tidak semaksimal biasanya. Saat itu yang saya pikirkan hanya membawa SB kalaukalau kami harus menginap di luar rumah, meskipun kemungkinan besar tidak akan terjadi karena Ajeng punya kolega di Jogja. Hehe..

Kamis pagi ada acara di kantor jadi barang bawaan masih saya tinggal di rumah, tapi sudah packing seadanya sebelum berangkat. Karena waktu pulang mepet sama jadwal kereta akhirnya saya tidak sempat pulang lagi ke rumah, packing baju tetap seadanya ditambah beberapa barang yang saya titip ke kakak untuk dimasukan ke ransel, kemudian dikirim oleh tukang ojek langganan.

Agak tergesa seperti biasanya tapi berhasil! Kurang beberapa menit saja kami pasti terlambat.

Meskipun saya dan Ajeng sudah pasrah gak mendaki gunung, tapi tetep saja galau dan tetep usaha menyamakan waktu bareng teman-teman yang ke Sumbing, yang ujung-ujungnya tetep gak bisa. Hahaha..tetep

Dipikirpikir kalo tiga hari kami habiskan hanya berkeliling Jogja, sungguh membosankan. Malam itu saya coba hubungi teman blog, dulu sempat saling berkomen untuk naik gunung bareng. Saya kirim pesan lewat komen di blog dan twitter yang berlanjut ke sms, akhirnya kami sepakat untuk sama-sama mendaki Gn. Lawu melalui jalur Cemoro Sewu. Karena belum pernah bertemu jadi anggaplah ini sebagai kopdar pertama kami. Agak gegabah, tapi saya punya keyakinan kuat dia orang baik. Semoga. 😀

Hari pertama di Jogja kami habiskan dengan jalan-jalan kota, baru keesokan harinya sesuai jadwal free teman blog saya itu maka kami berangkan ke Solo untuk mendaki Lawu. Sabtu siang kami bertemu di stasiun Lempuyangan. Awalnya saya pikir dia asli Jogja, ternyata orang Garut. Ah -__-“

IMG_1889

@stasiun Solo Balapan

Perjalanan menuju Magetan diiringi hujan deras, sempat terpikir untuk membatalkan pendakian, tapi teman baru saya itu bilang “Biasanya di atas malah gak hujan”. Baiklah untuk saat itu saya mengiyakan, tapi jika sampai ke pos pendakian tetap hujan berarti mestikung (semesta menikung). Ternyata sampai pos pendakian hujan sudah reda. Kami istirahat sejenak di sana, makan (lebih tepatnya dikasih makan :D), repacking, dan sholat maghrib.

Pendakian kami mulai selepas maghrib, sebenarnya saya menghindari pendakian malam, tapi banyak sekali yang mendaki malam itu. Toh kalo gak malam ini kapan lagi? Jalurnya agak basah setelah diguyur hujan siang hingga sore tadi. Dari basecamp hingga Pos 1 jalannya masih bersahabat, cukup landai. Normalnya butuh waktu sekitar 45 menit untuk mencapai Pos 1 ini. Dari Pos 1 ke Pos 2 jaraknya ternyata cukup panjang, memakan waktu hampir 3 jam perjalanan dengan kecepatan rata-rata keong perjam..heheh..

IMG_1892.JPG

Cuma bisa lihat bulan.

Jalur menuju Pos 2 ini mulai tak berbonus dan bebatuan, lumayan lah bikin pegel. Terlebih saya tidak pakai sepatu atau sanda yang seharusnya. Ya tak seharusnya karena packingan seadanya itu saya lupa memasukan sepatu maupun sandal gunung ke daftar bawaan, alhasil cuma pakai sandal yang saya bawa ke kantor. Heuu..

Di Pos 2 ini ada shelter yang bisa dijadikan tempat istrirahat, awalnya kami mau ngecamp di sini saja terlebih melihat kondisi Ajeng yang sudah capek berat. Tapi shelter penuh dan tidak memungkinkan mendirikan tenda di sana. Teman baru saya meyakinkan kami kalo Pos 3 sudah dekat dan kami buka tenda di sana saja. Perjalanan pun kami lanjutkan ke Pos 3, tapi yaa..ternyata lumayan juga, waktu normal saja butuh 60 menit untuk sampai ke sana, dengan kondisi kami yang banyak berhenti sepertinya sampai 2 jam baru buka tenda di Pos 3.

Sudah larut tidak ada foto-foto apapun, tidak ada kegiatan lain selain makan malam (lagi), kami pastikan alarm berbunyi jam 3 nanti, kemudian tidur lelap.

====

Dan kemudian kami terbangun..”Yaah..jam 4!” seru teman baru saya. “Yah…udah, sholat subuh aja,” kata saya nyantai. Karena sejak awal pendakian ini diniatkan santai, jadi kami tidak merasa gusar gak dapet sunrise di puncak. Toh nyampe puncak juga untung-untungan, di timeline saya pokoknya sebelum dzuhur kita harus udah turun. Bukan apa-apa, biar pas sama jadwal kereta pulang aja.

Abis sholat, ngopi-ngopi, sarapan, baru lah beranjak jalan sekitar jam 5 pagi. Santai banget, bener-bener jadi penikmat jalur. Oh ya dari Pos 3 menuju Pos 4 bisa ditempuh dengan waktu 60-90 menit, tapi bergantung kecepatan masing-masing juga.

IMG_1897

Pemandangan selama perjalanan ke Pos 4

Jam 6.30 kami sudah sampai di Pos 4, menimang-nimang mau lanjut atau tidak. Setelah sekian lama berfikir sambil selfie..*bisa ya..hahha..akhirnya kami putuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan hingga puncak. Iya sih tinggal dikit lagi, iya sih cuma satu pos lagi, tapi terlalu beresiko ketinggalan kereta.

Mungkin sekitar jam 7.30, kami mulai menyusuri jalur batuan tadi menuju Pos 3 tempat kami ngecamp. Sampe Pos 3 repacking, kemudian turun. Karena kemarin naik dalam keadaan gelap saya hampir tak mengenali jalan yang kami lalui, Alhamdulillah jalurnya jelas dan gak banyak, bahkan hampir gak ada persimpangan. Karena terang benderang, jalur batuan yang dilalui berasa banget ke kaki, terlebih saya ga pakai sepatu atau sandal yang memadai. Heuu..salah sendiri sih.

Jam 11 sampai juga kami di basecamp, istirahat sejenak, bersih-bersih, trus nunggu angkot dan makan baso pinggir jalan sambil elus-elus kaki. Ah..bersyukur banget liburan kali itu bisa main ke gunung meskipun bener-bener tanpa persiapan yang matang, Alhamdulillah selama perjalanan kami baik-baik saja, sampai rumah dengan selamat. Semoga kelak bisa main ke sana lagi dan lihat sunrise dari puncak. Eh..ke Merapi aja deh..


3 Komentar

Dari Satonda Ke Kenawa

Setelah semalaman bergelap gelapan di tepi pantai Satonda (lanjutan Hotel Berjuta Bintang, Satonda), pagi itu kami ingin menikmati sunrise yang indah. Sayangnya penampakan sunrise berada di belahan Satonda yang lain.

Kesibukan pagi hari hampir sama seperti hari-hari sebelumnya, hanya saja kami tidak kedinginan seperti di gunung. Sarapan dan mencari spot bagus untuk foto.

Di Satonda ini ada danau air asin yang konon katanya asinnya lebih asin dari air lautnya sendiri. Nah, danau itu akan terlihat indah klo dilihat dari atas bukit yang mengelilinginya.

IMG_3194

Danau Satonda dok. Ilham

Para tuan sudah lari duluan sebelum matahari naik, sedang kami gak akan menyianyiakan sarapan demi mengejar foto. Tetep ya, makan itu nomor 1..Setelah cukup sarapan kami berempat mencoba menaiki bukit itu. Tapi sepertinya keputusan sarapan dulu juga kurang tepat hari itu, kekenyangan jadi alasan untuk gak lanjut naik sampai puncak, alasan lain kapal sudah merapat siap menjemput.

CAM01630

Danau Satonda. dok. siriusbintang

Akhirnya foto-foto di tepi danau pun sudah memuaskan kami, setelah itu repacking dan kembali ke Calabai.

Depan Satonda

Foto wajib sebelum beranjak ke tempat lain.

Sampai Calabai menjelang siang, kami langsung memburu bis menuju Sumbawa. Perjalanan seperti semula dengan bis bermuatan segala. Sampai di persimpangan Dompu, Bima, dan arah menuju Sumbawa satu teman turun dan melanjutkan petualangannya di NTT. Sampai Sumbawa dua orang lainnya juga pulang lebih dulu karena tiket pesawat mereka berbeda dengan kami. Sedangkan kami ber7 turun di Poto Tano dan melanjutkan liburan ke pulau kosong tak bertuan, Kenawa.

Sunrise

Kondisinya hampir sama dengan Satonda, kosong. Bedanya di sini hanya ada saung-saung pinggir pantai bukan penginapan seperti Satonda. Rasanya tetap sama, berasa pulau hanya milik kami ber7..heheh..Karena ada saung yang cukup besar dan bisa dijadikan dua ruangan, tenda pun tetap tergulung rapih. Dua ruangan itu bagian dalam untuk perempuan dan bagian luar untuk laki-laki.

10386783_738213806200253_4179354044888089330_n

Kenawa, nun jauh di sana Rinjai. dok. Jati

Setelah pagi saya baru tahu penampakan Kenawa aslinya. Pulau kecil dengan bukit kecil di bagian ujung, selebihnya hampatan savana yang mulai mengering. Pantainya berpasir putih, airnya biru jernih,lumayan buat sekedar renang. Kalo yang mau snorkeling juga bisa, sekitar 5-10 meter dari tepi pantai  airnya lebih dalam dan karangnya lebih bagus, setidaknya masih hiduplah.

10304705_10202241889225047_8004943671719244445_n

Berenang-renang sebelum nyebrang ke Lombok. dok. Mak Geboy

Beberapa bulan lalu saya kembali ke Kenawa, keadaannya sudah jauh berbeda. Sekarang saung yang kami tinggali dijadikan warung,beberapa saung lain juga, dan sudah ada penerangan berupa genset. Sedang dibangun dermaga baru untuk perahu-perahu yang merapat ke sana. Saya sih berharap banget semoga toiletnya diperbaiki juga..heheh.. Udah sih gitu aja..gak ada drama gak ada sandiwara..lebih tenang dan datar kali ini.

IMG_0170_2

Dari kiri ke kanan, toilet, saung tempat kami menginap, semacam tempat makan. Foto ini diambil bulan September lalu.